Aku bosan
bermain bersama gelap.
Tapi, tetap
saja aku menulis senja dan kegelapan dalam setiap bait puisi ku.
Bagaimana
mungkin aku berharap terang.
Jika kegelapan
dan kesunyian menjadi teman dalam hidup ku.
Bahkan, cahaya
kunang-kunang pun tak cukup memberi ku terang.
Aku yang
selalu berlari dari gelap pun kini menjadi lelah.
Dan kemudian,
aku mencoba kembali berteman dengan matahari dilain waktu.
Namun iya
kemudian kembali meninggalkan ku tanpa pamit.
Seolah-olah,
aku hanya singgah untuk sementara dan aku tak pernah ada bagi dirinya.
Aku pergi
setelah itu, berharap rumput menemani ku dalam keasingan.
Rumput pun
ternyata tak bisa bertahan.
Warnanya
memudar terbakar mentari dan batangnya rapuh tertiup angin.
Aku selalu
bertanya-tanya dalam hati, kemana sebenarnya perginya cahaya.
Namun sampai
kini, aku tak pernah tahu akan jawabanya.
Saat langit
yang terang meninggalkan kegelapan.
Aku semakin
mengerti.
Bahwa semua
akan pergi bila waktunya.
Termasuk
beberapa orang yang pernah singgah dalam hidup ku.
Satu persatu
mereka meninggalkan ku dalam kebingungan.
Aku kembali
sendiri.
Berteman
dengan bait-bait puisi yang setia menemaniku.
Tapi aku
selalu sulit, saat mencoba menulis kata lain selain gelap dan senja dalam puisi
ku.
Sepertinya
hati ku terkunci dan kini menjadi mati disana.
Saat itu, aku
memilih diam untuk setiap bahasa yang ku punya.
Kupikir, semua
akan sama.
Tak akan beda.
Walau ku
menaruh sedikit harapan disana.
Lalu, aku
diperkenalkan dengan sepi di sepanjang jalan yang ku punya.
Sehingga aku
punya 3 kata sekarang, sepi, senja dan gelap.
Kupikir itu
akan cukup.
Namun
kemudian, kesedihan menghampiri ku.
Lagi-lagi
bertambah satu kata.
Dan ku pikir,
untuk segera berhenti disana.
Bagi ku,
Masa lalu
adalah kenangan.
Yang kemudian
menjadi hantu di setiap sudut pikiran ku.
Saat aku
memilih diam dan tak berbuat apa-apa.
Maka selamanya
iya akan menjadi hantu.
Dan iya tidak
akan berubah menjadi peri walaupun ku menunggu.
Ku coba
sampaikan kata lewat kebisuan.
Yang takkan
terdengar.
Dan takkan kau
paham.
Aku seperti
pipit yang kehilangan sarang.
tak punya
tempat berteduh, hanya mampu terbang.
Ku pikir aku
akan aman disana.
Tapi ternyata
tidak.
Sayap kecil ku
mulai lemah.
Dan aku
kelelahan terbakar sinar mentari.
Lalu ku pilih
untuk hingga di dahan yang kokoh.
Ku renung
sejenak,
Dan ternyata,
sinarpun tak terlalu kubutuhkan.
Untuk apa aku
berharap terang.
Jika kegelapan
dan senja pun mampu meninggalkan rasa yang sama seperti mentari.
Aku tersenyum
untuk sebuah kebohongan.
Aku tersenyum
untuk sebuah kebodohan.
Aku tersenyum
dalam kesakitan.
Dan aku akan
tetap tersenyum, agar kau tetap melihat ku dibawah terang.
Meski,
sebenarnya gelaplah yang ku temui.
(Rahma 15 feb
2013 pukul: 00:04 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar