Senin, 08 April 2013


Aku bosan bermain bersama senja.
Aku bosan bermain bersama gelap.
Tapi, tetap saja aku menulis senja dan kegelapan dalam setiap bait puisi ku.
Bagaimana mungkin aku berharap terang.
Jika kegelapan dan kesunyian menjadi teman dalam hidup ku.
Bahkan, cahaya kunang-kunang pun tak cukup memberi ku terang.
Aku yang selalu berlari dari gelap pun kini menjadi lelah. 
Dan kemudian, aku mencoba kembali berteman dengan matahari dilain waktu.
Namun iya kemudian kembali meninggalkan ku tanpa pamit.
Seolah-olah, aku hanya singgah untuk sementara dan aku tak pernah ada bagi dirinya.

Aku pergi setelah itu, berharap rumput menemani ku dalam keasingan.
Rumput pun ternyata tak bisa bertahan.
Warnanya memudar terbakar mentari dan batangnya rapuh tertiup angin.
Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, kemana sebenarnya perginya cahaya.
Namun sampai kini, aku tak pernah tahu akan jawabanya.

Saat langit yang terang meninggalkan kegelapan.
Aku semakin mengerti.
Bahwa semua akan pergi bila waktunya.
Termasuk beberapa orang yang pernah singgah dalam hidup ku.
Satu persatu mereka meninggalkan ku dalam kebingungan.

Aku kembali sendiri.
Berteman dengan bait-bait puisi yang setia menemaniku.
Tapi aku selalu sulit, saat mencoba menulis kata lain selain gelap dan senja dalam puisi ku.
Sepertinya hati ku terkunci dan kini menjadi mati disana.
Saat itu, aku memilih diam untuk setiap bahasa yang ku punya.
Tak ingin merangkainya dalam setiap bait puisi seperti yang pernah aku lakukan.
Kupikir, semua akan sama.
Tak akan beda.
Walau ku menaruh sedikit harapan disana.

Lalu, aku diperkenalkan dengan sepi di sepanjang jalan yang ku punya.
Sehingga aku punya 3 kata sekarang, sepi, senja dan gelap.
Kupikir itu akan cukup.
Namun kemudian, kesedihan menghampiri ku.
Lagi-lagi bertambah satu kata.
Dan ku pikir, untuk segera berhenti disana.

Bagi ku,
Masa lalu adalah kenangan.
Yang kemudian menjadi hantu di setiap sudut pikiran ku.
Saat aku memilih diam dan tak berbuat apa-apa.
Maka selamanya iya akan menjadi hantu.
Dan iya tidak akan berubah menjadi peri walaupun ku menunggu.

Ku coba sampaikan kata lewat kebisuan.
Yang takkan terdengar.
Dan takkan kau paham.
Aku seperti pipit yang kehilangan sarang.
tak punya tempat berteduh, hanya mampu terbang.
Ku pikir aku akan aman disana.
Tapi ternyata tidak.
Sayap kecil ku mulai lemah.
Dan aku kelelahan terbakar sinar mentari.
Lalu ku pilih untuk hingga di dahan yang kokoh.
Ku renung sejenak,
Dan ternyata, sinarpun tak terlalu kubutuhkan.
Untuk apa aku berharap terang.
Jika kegelapan dan senja pun mampu meninggalkan rasa yang sama seperti mentari.

Aku tersenyum untuk sebuah kebohongan.
Aku tersenyum untuk sebuah kebodohan.
Aku tersenyum dalam kesakitan.
Dan aku akan tetap tersenyum, agar kau tetap melihat ku dibawah terang.
Meski, sebenarnya gelaplah yang ku temui.

(Rahma 15 feb 2013 pukul: 00:04 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar